Senin, 23 November 2015

Menembus batas

menembusbatas
Di mana batas akhir perjalanan manusia? Dari sisi kapasitas intelektualnya menurut neurosains, capaian manusia saat ini belum seberapa. Potensi intelektual rata-rata manusia belum sampai 5% yang digunakan.
Jadi, kita yang hidup hari ini sulit membayangkan inovasi sains dan teknologi di masa depan yang semua itu akan memengaruhi pola hidup manusia. Dengan ditemukannya teknologi internet dan telepon seluler saja moda kerja, jejaring sosial, dan metode belajar serta relasi sosial sudah berubah drastis, tak terbayangkan oleh generasi orang tua yang lahir prakemerdekaan.
Pertanyaan tentang batas akhir perjalanan manusia akan semakin sulit dipahami kalau dialamatkan pada perjalanan rohani. Bagi orang yang beriman, kehidupan ini tak akan berakhir dengan pisahnya roh dari badan wadak. Jika kita amati, terdapat dua karakter yang melekat pada manusia, yaitu pertumbuhan dan pengembaraan. Yang namanya hidup selalu bergerak, tidak statis.
Secara fisik manusia terkena hukum pertumbuhan layaknya dunia flora. Namun secara intelektual dan spiritual orang berharap agar semakin tambah usia seseorang tumbuh menjadi semakin bijak dan bermanfaat sebanyak-banyaknya bagi lingkungan. Orang yang tidak produktif sungguh merugi dan menyia-nyiakan fasilitas umurnya.
Bagi seorang sopir taksi, umur itu bagaikan argometer yang selalu bergerak. Jika argometer berjalan, tetapi tidak mendapatkan penumpang, dia akan merugi karena tidak mencapai target setoran. Dia telah mengeluarkan bahan bakar, waktu, dan tenaga, tetapi tidak produktif. Demikianlah, sering kali tak disadari bahwa kita telah terpenjara oleh kemalasan, kebodohan, dan kebutaan dalam membaca dan memahami kehidupan.
Hidup menjadi rutin dan tumpul. Dunia menjadi penjara yang menahan pertumbuhan dan perjalanan lebih lanjut, menembus batasbatas yang kita ciptakan sendiri. Meminjam bahasa Taufik Ismail, kita hidup dalam kotak, lalu sibuk membuat kotak-kotak yang semakin kecil lagi sampai kita tidak bisa bergerak karena terjepit oleh kotak terkecil yang kita ciptakan sendiri.
Alquran mengingatkan, Allah tidak akan mengubah nasib satu kaum kecuali mereka mengubah terlebih dahulu mindset mereka. Mengubah jiwa dan mental mereka sendiri. Baik secara individual maupun kelompok dan generasional, sejarah manusia selalu memiliki agenda menembus batas. Dalam bahasa akademis disebut riset, terdiri atas dua kata re dan search .
Mencari dan mencari kembali agar batas pengalaman, pengetahuan, dankeilmuan senantiasa melebar. Dan ini dilakukan sambung-menyambung dari generasi ke generasi untuk memperluas dunia manusia. Ibarat ulat yang bergulat untuk bermetamorfosis menjadi kupu-kupu agar bisa terbang menikmati indahnya taman yang luas.
Setiap manusia dan masyarakat selalu dibatasi geraknya oleh garis perbatasan (boundary), oleh batasan fisik, bahasa, dan tradisi. Teknologi internet telah merobohkan tembok perbatasan ini. Masyarakat modern telah menciptakan benua yang keenam, yaitu benua maya, dunia simbolik (virtual world) yang dihubungkan oleh internet yang memfasilitasi warganya berkomunikasi dengan simbol kata dan gambar.
Di dunia yang baru ini komunikasi warganya tidak bisa dihalangi oleh sekat-sekat negara, etnis, budaya, dan agama. Mereka bebas mengemukakan imajinasinya. Di dunia virtual, orang bebas berbicara, berdiskusi, dan berdebat tanpa kehadiran fisik. Ide dan gagasan apa pun mesti siap diuji, dipuji, dan dicaci sekalipun itu merupakan pemikiran keagamaan.
Di dunia virtual akan dijumpai ribuan agama dan kepercayaan. Orang pun bebas untuk menerima atau menolaknya. Bagi mereka yang tak tahan dengan kritik dan cacian, cara termudah tinggal klik, matikan internetnya atau TV-nya. Mau teriak pun boleh di kamar sendiri asal tidak mengganggu orang lain atau tetangga.
Sedemikian mudah dan bebasnya orang melakukan pengembaraan di dunia maya bagaikan berselancar di lautan informasi tanpa hambatan. Kebebasan ini tentu tidak semahal dan sesulit kalau kita hendak melihat-lihat negeri dan budaya orang dari dekat dalam wujudnya yang nyata. Faktor kesehatan, kesempatan, dan finansial mesti mendukung.
Esai ini pun saya tulis di airport Istanbul, 7 November 2015 pukul 6 pagi, sambil menunggu jadwal penerbangan ke Wina dalam rangka berwisata menembus batas geografis untuk melihat dari dekat negara-negara Eropa Timur. Sejak berangkat dari Jakarta saya sudah niatkan perjalanan ini merupakan wisata budaya (cultural tour ) untuk melihat kota-kota tua di Eropa Timur yang tidak semegah dan seglamor kalau kita jalan-jalan misalnya ke Paris, London, New York, Frankfurt, Tokyo.
Namun kota-kota bekas rezim sosialis ini menyimpan monumen sejarah peradaban manusia yang amat berharga untuk diapresiasi, merekam inovasi dan eksperimentasi politik dan budaya yang telah memperkaya khazanah peradaban dunia. Menurut Alquran, semesta dan sejarah manusia merupakan ayat-ayat Tuhan yang mesti dibaca dan dipahami.

Mengembangkan otoritas professional guru

20150322_071023
SEORANG teman dari Kemendikbud dua minggu lalu menelepon saya. Ia mengatakan bahwa ia bingung dengan rencana Mendikbud Anies Baswedan yang hendak melaksanakan lagi uji kompetensi guru (UKG) terhadap semua guru di Indonesia. Pasalnya, bukan hanya terletak pada substansi yang hendak diujikan, melainkan juga menyangkut biaya yang tidak sedikit. Padahal, data UKG tahun-tahun sebelumnya masih ada dan mangkrak hanya sebagai data tanpa ada intervensi kebijakan yang serius terhadap guru dalam 2 tahun terakhir. Data UKG sejak 2012 hingga 2014 relatif sama. Itu menandakan Kemendikbud belum melakukan banyak perubahan berarti untuk meningkatkan kapasitas guru.
Muncul dua pertanyaan dari saya, yaitu apakah Menteri Anies Baswedan tidak percaya dengan hasil UKG yang sudah ada? atau jangan-jangan Pak Menteri hanya menjalankan program yang sudah direncanakan sebelumnya dalam rangka evaluasi kinerja kementerian yang daya serap anggarannya masih rendah? Agar tak banyak spekulasi yang muncul, saya menebak Menteri Anies ingin pelaksanaan UKG tahun ini lebih baik dari segi substansi dan teknis pelaksanaannya.
Namun, itu tetap saja tak masuk di akal saya karena kebijakan melakukan UKG setiap tahun tetap merupakan pemborosan karena pemerintah belum maksimal melakukan intervensi terhadap data yang ada.
Otoritas profesional dan pedagogis
Menyangkut profesionalitas guru, saya ingin bertanya apakah aspek pedagogis guru bisa dites melalui serangkaian soal di komputer seperti yang diujikan dalam UKG? Menurut saya, itu sangat absurd karena aspek pedagogis akan lebih baik diujikan melalui serangkaian observasi yang terukur dan sistemik di dalam sebuah sekolah. Karena itu, penting bagi seluruh stakeholders pendidikan di Indonesia untuk memahami esensi profesionalitas guru berdasarkan kemampuan manajerial sekolah di tiap-tiap wilayah. Mengapa?
Otoritas profesional berasumsi bahwa proses pembelajaran merupakan suatu disiplin intelektual yang memerlukan pengembangan dalam suatu wadah yang baik. Dengan kata lain, jika guru punya otoritas, ia akan mudah dikenali secara cepat dan mudah, baik oleh anak didiknya maupun praktisi pendidikan lainnya. Di samping itu, otoritas profesional dapat menunjukkan jati diri guru, yaitu selain sebagai pembaca buku, juga sekaligus pembelajar bagi anak didiknya. Ketiadaan otoritas bagi seorang guru dapat diibaratkan seperti seorang dokter yang melakukan diagnosis tanpa pengetahuan teori dan cara mendiagnosis pasien.
Salah satu syarat yang dibutuhkan untuk menumbuhkan otoritas profesional guru ialah memahami dan kemudian meninggalkan paradigma lama dalam melakukan pola pembelajaran. Lebih dari 15 tahun para guru di seluruh dunia terbuai dengan teori behaviorisme yang selalu berusaha mencoba mengubah tingkah laku. Secara interinsik, proses belajar mengajar dalam behaviorisme terlalu terpaku pada masalah-masalah yang kompleks dan tak terpecahkan, yaitu asumsi stimulus respons terlalu menyederhanakan masalah pembelajaran yang semakin spesiļ¬k. Pendekatan behavioristik juga sangat kurang menghargai kreativitas siswa karena model menghapal dan meng-copymasalah menjadi ciri lain dari model ini. Dalam dunia pendidikan yang sudah berkembang sedemikian pesat sekarang ini, otoritas guru yang didasarkan pada teori behaviorisme harus segera diubah ke pendekatan functional-learning, sebuah pendekatan yang lebih menghargai kapasitas akademis guru dan siswa secara bersamaan.
Teori fungsional (functioning theory) berkembang dalam 20 tahun terakhir. Model ini mensyaratkan otoritas guru tergantung dari siapa yang mengajar. Dalam bahasa Jerome Bruner, model teori itu seperti fungsi seorang ibu yang berinteraksi dengan anaknya melalui akuisisi bahasa (Bruner, Learning the Mother Tongue, Human Nature, September 1978). Artinya, teori ini melihat bahasa sebagai hasil interaksi seorang ibu atau guru ketika menggunakan bahasa sesuai dengan rasa bahasa yang berkembang dalam diri seorang anak. Di dalam kelas, guru harus melihat penugasan dalam penulisan bukan sebagai tiruan tegas, melainkan sebagai situasi penulisan yang mempunyai satu peran fungsional terhadap daya nalar dan daya tangkap seorang anak.
Karena itu, diperlukan cara untuk menguji kompetensi profesional dan pedagogis guru dari jarak yang paling dekat dengan siswa dan lingkungan sekolah. Ambil contoh bagaimana SSB melakukan monitoring dan evaluasi terhadap guru dan siswa. Bagi manajemen SSB, monitoring yang paling utama justru harus dilakukan terhadap guru terlebih dahulu sebelum mereka menguji dan mengevaluasi para siswa. Karena itu, kami beruntung memiliki tools seperti sistem informasi sekolah terpadu online (sisto), yang digunakan tidak hanya mela cak kemampuan siswa dalam belajar, tetapi juga mendeteksi kemampuan mengajar para guru dari waktu ke waktu. Model monitoring dan evaluasi guru jenis ini diyakini mampu meningkatkan kapasitas dan kemampuan guru pada empat hal yang menjadi isu utama undang-undang guru, yaitu kompetensi profesional, pedagogis, sosial, dan kepribadian (sikap).
Untuk mengukur kompetensi profesional seorang guru, sisto yang kami buat cukup mendata seberapa banyak buku, artikel, jurnal, dan tulisan yang digunakan dan dibaca para guru ketika mereka meng ajarkan materi tertentu. Guru tak hanya dibekali buku teks mata ajar tertentu yang menjadi spesialisasinya, tetapi juga wajib membaca bahan-bahan lain dalam rangka mendukung proses belajar mengajar yang lebih kreatif dan menyenangkan. Setiap minggu guru SSB diwajibkan mengisi modul profesional guru yang ada dalam sisto secara rutin untuk melihat berapa banyak bahan yang dibaca guru tersebut selain buku teks.
Kompetensi pedagogis juga diukur dan dievaluasi secara terencana dan berjenjang melalui modul supervisi dan observasi kelas yang secara terus-menerus dilaku kan direktur sekolah, kepala sekolah, guru, dan pengawas sekolah. Melalui instrumen supervisi dan observasi kelas, direktur sekolah dan kepala sekolah bertugas dan bertanggung jawab untuk mengevaluasi apakah kemampuan implementatif guru pada aspek metodologis dan strategi pembelajaran berkembang atau tidak. Lagi-lagi, modul kompetensi pedagogis yang terintegrasi ke dalam sisto ini juga terbuka untuk stakeholders lain yang ingin melihat peta perkembangan pedagogis guru secara periodik.
Lant Pritchett dalam The Rebirth of Education: Schooling Ain’t Learning (2013) menengarai sistem persekolahan di banyak negara telah gagal dalam upaya mencerdaskan masyarakat karena pilihan soal desentralisasi tidak dianalisis berdasarkan struktur sosial budaya di tempat sekolah itu berada. Meskipun kita bisa melihat ada banyak hambatan yang akan terus muncul, menjadikan sekolah sebagai basis dan unit analisis sebuah kebijakan ialah imperatif. Saya menunggu kebijakan uji kompetensi guru (UKG) jenis lain, yaitu berbasis sekolah seperti yang dilakukan SSB, tidak masif seperti sekarang dan menelan biaya yang juga sangat besar.

Untuk impian besar

dream
Bagi rakyat, pendidikan merupakan hak. Bagi negara, pendidikan merupakan kewajiban. Adapun bagi bangsa, pendidikan perkakas utama untuk membangun impian besarnya.
Khusus untuk Indonesia, penggagas bangsa sudah menyampaikan impian besar itu. Maka, sekarang, pendidikanlah yang menerima darma untuk mewujudkannya.
Rancang-bangun
Oleh karena itu, perlu  disiapkan rancang-bangun pendidikan yang membeberkan rangkaian langkah strategis untuk menjelmakan impian besar itu. Rancang-bangun ini selanjutnya perlu dirujuk siapa pun yang berkuasa, sebagai pegangan kebijakan pembangunan pendidikan dan yang terkait lainnya. 
Kata ‘dan’ dalam penyebutan “pendidikan dan kebudayaan” merepotkan dan tak begitu menguntungkan karena sedikit banyak mengesankan bahwa pendidikan dan kebudayaan merupakan dua hal dan terpisah. Terlebih lagi, rangkaian kebijakan selama ini juga menguatkan kesan bahwa pendidikan dan kebudayaan tidak memiliki keterkaitan sebab-akibat.
Padahal, jika diyakini bahwa suatu bangsa masih mungkin mengubah kebudayaan esoknya, melalui pendidikanlah cara paling berpeluang besar. Bagaimana kehidupan bangsa esok, sejatinya dipikirkan dan dituangkan strateginya ke dalam sistem pendidikan.  Oleh karena itu, mutlak dibutuhkan suatu rancang-bangun pendidikan untuk kebudayaan esok. Walau terlambat, mau tak mau rancang-bangun ini perlu dituliskan hari ini.
Tanpa rancang-bangun tersebut, berbagai program pendidikan jadi tak logis dan akan gagal meyakinkan publik kenapa perlu dilaksanakan. Pertanyaan mengapa perlu ada ujian kompetensi guru, ujian nasional, Kurikulum 2013, pelatihan guru, dan lain-lain, dengan metode serta isinya seperti sekarang tak pernah dijawab secara memuaskan. Benang merah antarproyek itu sumir. Dampak besarnya, program pendidikan jadi tidak tampak menyokong pengembangan kebudayaan. Di sisi lainnya, kebijakan kebudayaan seperti berjalan sendiri dan tidak memandu program pendidikan.
Untuk mengawali penyusunan rancang-bangun ini, perlu dirembukkan suatu telaah kebudayaan yang menyeluruh guna menelusuri gambaran bangsa dan kehidupan esok yang diimpikan. Dari situ dirumuskan profil manusia yang diidamkan. Khususnya dalam profil tersebut didaftar karakteristik manusia yang diharapkan agar mampu berfungsi efektif dalam kehidupan bermasyarakat di dunia hari ini dan esok. Dalam merancang strategi kebudayaan tentu perlu mempertimbangkan fakta kemajuan sains dan teknologi. Maka, keterlibatan saintis, teknolog, dan rekayasawan untuk merumuskan kebudayaan esok sama pentingnya dengan keterlibatan seniman dan “budayawan”.
Pada saat yang sama, dengan melakukan penelitian lintas disiplin, dari ilmu ekonomi sampai ilmu saraf, dapat diprakirakan ragam kecakapan yang dituntut hari esok. Ini ditemukan dengan mengekstrapolasi, antara lain kecenderungan kebutuhan dunia kerja dari masa lalu sampai sekarang. Khususnya, dapat dirumuskan keterampilan bernalar seperti apa yang akan semakin dituntut di kehidupan esok. Demikian pula mendaftar sikap dan perangai seperti apa yang dituntut di kehidupan mendatang.
Kemudian, dari rumusan keterampilan dan sikap itu, perancang program pendidikan akan merekacipta rencana pembelajaran. Pembelajaran antisipatif terencana ini menciptakan peluang belajar sehingga warga dapat mengembangkan keterampilan dan sikap untuk kehidupan mendatang.
Dampaknya, pendidikan menjadi berperan penting sebagai jantung penyedia “oksigen” yang menghidupi kebudayaan. Pendidikan menjadi organ utama dan terpadu dalam strategi kebudayaan. Di sini, kata ‘untuk’ dan ‘esok’ merupakan dua kata kunci dari rancang-bangun ini.
Rancang-bangun ini akan membentangkan secara logis bagaimana bangsa ini merencanakan rute lintasan dan menata langkah guna mewujudkan impian besarnya. Lalu, rancang-bangun menyeluruh ini dijadikan rujukan kebijakan pendidikan ataupun kebudayaan.
Secara teknis, dari rancangbangun itu harus dapat diturunkan, misalnya, profil lulusan perguruan tinggi, SMA, SMP, dan SD yang diharapkan. Setelah itu, baru masuk akal mengkaji dan membuat standar untuk tiap tahap pendidikan karena sekarang sasaran pendidikan menjadi gamblang, membumi.
Bahkan, merancang evaluasi pendidikan seperti ujian pemetaan pendidikan juga jadi logis karena kecakapan apa yang perlu diukur yang relevan dengan masa kini dan esok sudah ditetapkan. Pelatihan guru serta evaluasinya juga menjadi jelas karena sudah dikenali  kecakapan apa yang strategis untuk disemai di kelas.
Dengan pemikiran ini, kebudayaan jadi pemandu arah pendidikan, sedang pendidikan menjadi perajut kebudayaan esok. Kebudayaan berperan sebagai arsitek dan pendidikan sebagai teknisi bangunan dalam menjelmakan impian besar bangsa.
“Masyarakat bisa”
Penting dicatat: mewujudkan impian besar setaraf mendirikan bangunan nyata Borobudur atau Tembok Besar butuh pemikiran dan kerja keras beberapa generasi. Apalagi jika yang diimpikan gagasan visioner “keadilan sosial bagi seluruh rakyat”. Pemerintah sendirian tak mungkin sanggup.
Karena itu, mau tak mau, masyarakat harus memeloporinya dan jadi pelaku utama. Masyarakat diharapkan saling menularkan virus “Masyarakat Bisa” untuk menyebarkan kepercayaan diri. Ini jadi mungkin jika masyarakat meyakini impian besar bersama, berketetapan hati, dan cakap bekerja sama. Sebaliknya, jika tak yakin dengan impian itu, masyarakat akan jadi penonton di “tepi lapangan” pembangunan dan penyorak semata.
Oleh karena itu, rancang-bangun dituntut logis dengan penalaran yang runtun,  dengan bahasa sederhana agar dipahami pendidik serta masyarakat luas, dan menebarkan semangat ajakan untuk melibatkan diri.   Akhirnya, seperti juga beragamnya cara untuk mencapai sebuah tujuan, gagasan rancang-bangun itu hanya sebuah tawaran yang pastinya tidak tunggal. Namun, yang paling utama, perlu dituangkan sebuah rancang-bangun untuk impian besar.

Pahlawan di dalam diri

pahlawan diri
Indonesia adalah cermin yang retak. Elite negeri hanya melihat segala sesuatu dari sudut bayangan kepentingan masing-masing. Keakuan dan kekamian mencekik kekitaan. Rakyat kebanyakan hidup tanpa perlindungan berarti dari negara, bak yatim piatu yang ditinggalkan, dikhianati, dan dikorbankan. Dalam kondisi kerakyatan yatim piatu, bahaya terbesar adalah terjebak dalam pola pikir ketergantungan dan mentalitas korban (victim mindset), yang serba pasif menanti kedatangan juru selamat.
Krisis kebangsaan takkan pernah bisa menemukan penyelesaian apabila rakyat terus memandang kepahlawanan sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya. Ketimbang terus menunggu kedatangan pahlawan di luar sana, lebih baik warga menghidupkan kekuatan kepahlawanan dalam diri sendiri. Seperti diingatkan psikolog Carl S Pearson, orang-orang biasa bisa menghadirkan kehidupan luar biasa apabila mampu mendayagunakan apa yang disebutnya sebagai ”the power of mythic archetypes”, yakni mitos tentang fitrah (archetype) kepahlawanan dalam diri.
Menurut Pearson, ada enam model fitrah kepahlawanan dalam diri. Pertama, model yatim piatu (orphan), dengan memandang hidup sebagai penderitaan, dan tugas kepahlawanannya adalah berjuang mengarungi kesulitan. Kedua, model pengembara (wanderer), dengan memandang hidup sebagai petualangan, dan tugas kepahlawanannya menemukan kesejatian diri. Ketiga, model pendekar (warrior), dengan memandang hidup sebagai pertarungan, dan tugas kepahlawanannya adalah membuktikan harga diri.
Keempat, model murah hati (altruist), dengan memandang hidup sebagai komitmen terhadap kebajikan lebih luhur, dan tugas kepahlawanannya adalah menunjukkan pertolongan (pelayanan). Kelima, model bersahaja (innocent), yang memandang hidup sebagai keriangan, dan tugas kepahlawanannya adalah meraih kebahagiaan. Keenam, model tukang sulap (magician), dengan memandang hidup sebagai seni menciptakan dunia, dan tugas kepahlawanannya adalah mentransformasikan diri.
Di tengah kegaduhan pesta pora elite negeri yang mabuk kepayang, yang melupakan dan menelantarkan rakyat sebagai yatim piatu, warga tidak bisa terus meratapi penderitaan sambil melamunkan kedatangan Sang Herucokro. Warga harus bangkit bertempur, menghidupkan fitrah kependekaran dalam dirinya. Dengan menghidupkan jiwa kependekaran, warga bisa menjalani kehidupan lebih gigih dan bertenaga, tak lembek membiarkan kejahatan dan pengkhianatan berjalan tanpa perlawanan. Dengan pengaktifan daya-daya perjuangan, tanpa perlu kekerasan, warga bisa terlibat dalam tarian kehidupan (the dance of life), tidak sekadar penonton yang cuma pandai berteriak, mengumpat, dan mengeluh.
Ketika politik di negeri ini menjelma menjadi seni memerintah dengan menipu rakyat, yang menjadikan kekuasaan sebagai sarana pemenuhan keserakahan, kepahlawanan yang harus dibangkitkan dari dalam diri adalah jiwa ”murah hati” (altruist).
Di dalam budaya kependekaran, pencapaian adalah segalanya. Namun, kita semua suka dinilai sebagai manusia, terlepas dari apa pencapaian kita. Tanpa orang-orang yang bekerja tanpa pamrih, memberikan cinta dan kepedulian tanpa berharap balasan, kehidupan masyarakat seperti arena transaksi jual beli yang kering dan mandul. Kita perlu memiliki makna hidup yang lebih luas sebagai panduan hidup, yang tidak sekadar didorong oleh nafsu meraih kekuasaan dan uang. Jiwa altruist melambangkan semangat berbagi dan kelimpahan kasih, yang dapat menyuburkan kembali bumi yang tandus. Jika negara ini dirundung banyak penyakit, tiada lain karena yang ditumbuhkan dalam kehidupan adalah rakus dan dengki. Jalan cinta dengan semangat berbagi dan melayani adalah obat mujarab yang memberi kesehatan pada kehidupan.
Akhirnya, di republik korup yang dirayakan oleh maling teriak maling, ratusan undang-undang dibuat untuk dilanggar, dan berbagai prosedur direkayasa untuk menjadi perangkap ketersesatan baru; yang diperlukan untuk mentransformasikan kehidupan adalah aktor politik yang mampu menghidupkan kekuatan magician. Magician menjalani hidup bersahaja (innocent), tetapi lebih aktif sebagai pembuat perubahan. Seorang magician bersedia bangkit berdiri, bahkan jika penuh risiko atau menuntut perubahan revolusioner. Namun, berbeda dengan para warrior, aktor-aktor magician tidak berilusi untuk mengontrol sepenuhnya kehidupan; sebaliknya mereka bersedia membiarkan dirinya menjadi bagian yang ditransformasikan oleh kehendak zaman.
Dengan demikian, mereka mampu membaca arus dan arah pergerakan kehidupan lebih jernih yang dapat memberikan efek perubahan lebih dahsyat, yang tampak seperti magic. Jika para warrior berstrategi menggunakan kehendak dan kekerasan hati untuk membuat perubahan, para magician percaya kekuatan visi akan menciptakan momentumnya tersendiri. Karakter seperti itulah yang tampak dari para magician terkemuka dunia, seperti Mohandas K Gandhi dan Martin Luther King.
Kalau ada yang paling salah dalam proses pembelajaran politik di negeri ini, hal itu tak lain pahlawan selalu ditempatkan di kesilaman di luar diri, tetapi tak pernah dihadirkan di kekinian di dalam diri. Pahlawan selalu merupakan sesuatu tanpa penantian dan kematian, tidak pernah menjanjikan kehadiran dan kehidupan.
Saatnya kita jadikan kepahlawanan sebagai sesuatu yang hidup di dalam diri, sekarang dan di sini, dengan mentransformasikan diri secara terus-menerus sehingga mampu mengubah situasi penderitaan menjadi wahana penempaan diri menjadi seorang magician.

Profesor dan absudirtas

professor
Profesor sedang dicecar. Surplus jumlah, defisit kualitas. Terlalu banyak profesor prosedural-absurd. Dengan begitu, apakah mereka harus digugat. Nanti dulu.
Mari bikin kasusnya lebih gamblang. Biar awam paham. Agar ihwal ilmu pengetahuan tidak melulu milik ”para penghuni langit”.
Profesor lomba
Begini. Saya punya teman dosen, doktor. Tisna Sanjaya namanya. Selain dosen, Tisna adalah seniman kontemporer kenamaan. Namanya tidak hanya dikenal di Asia, tetapi juga di dunia. Karya-karyanya telah dipamerkan di sejumlah negara di dunia. Di kampusnya, tentu saja, semua ilmunya ia ajarkan kepada mahasiswa. Tisna bahkan pernah tercatat sebagai dosen teladan.
Satu poin lagi, Tisna sempat beberapa tahun menjadi pembawa acara kebudayaan bertajuk ”Si Kabayan Nyintreuk” di sebuah televisi swasta lokal di Jawa Barat. Acara ini eksplisit menunjukkan ”pengabdian” Tisna kepada masyarakat. Melalui acara ini, Tisna terus-menerus mengkritik (nyintreuk) sekaligus memberi masukan kepada pemerintah, khususnya soal kebudayaan dan lingkungan hidup.
Pertanyaannya, akankah Tisna menjadi profesor? Jawabannya nyaris bisa dipastikan: tidak! Soalnya, sekeren apa pun karya Tisna, setulus apa pun mengamalkan ilmunya, dan seberwibawa apa pun di dunia, seluruh prestasinya itu tidak tercatat pada daftar kriteria untuk menjadi profesor. Seorang akademisi hanya dicatat kognisinya. Itu pun harus dituangkan dalam rangkaian kalimat yang disebut karya ilmiah, yang formalistik dan administratif pula. Karya seni tidak diakui sebagai buah riset. Puih!
Padahal, karya seni yang bagus hanya diniscayakan oleh riset seumur hidup senimannya: riset yang dalam perspektif hermeneutika disebut sebagai aprosiasi, appropriation of meaning (Ricoeur, 1981). Riset seni adalah internalisasi secara terus-menerus realitas ke dalam diri. Pada titik ini, seniman adalah juga ilmuwan (tanpa tanda kutip).
Namun, kini profesor bukanlah sebentuk penghargaan yang diberikan presiden terhadap seorang hamba ilmu pengetahuan yang telah memiliki kualitas mumpuni di bidangnya sedemikian, melainkan penghargaan yang dilombakan. Untuk itu, sejumlah syarat dan prosedur administratif-formal diberlakukan. Barangsiapa memenuhinya, ia akan menjadi Sang Guru Besar. Maka, lahir darinya profesor prosedur. Tidak pernah ada institusi atau sekadar tim ad hoc yang bertugas untuk ”meriset” pelamar, kecuali hanya memeriksa syarat-syarat yang diajukan si pelamar tersebut.
Parahnya pula, syarat yang dilombakan bersifat pukul rata. Artinya, siapa pun dari ranah keilmuan apa pun syaratnya sama, laik iklan sebuah merek minuman. Sebut saja bahwa semua pelamar harus meriset dan memublikasikannya di jurnal internasional terindeks scopus. Risetnya harus empirik pula. Bagi pelamar dari ranah ilmu-ilmu eksak, syarat ini mungkin cetek saja. Namun, lain soal bagi mereka yang dari ranah filsafat, seni, ilmu-ilmu kemanusiaan, dan ranah disiplin lain yang risetnya cenderung teoretik. Pun demikian bagi dosen praktikum seni semacam Tisna.
Oleh sebab itu, jumlah profesor di ranah seni bisa dihitung dengan jari. Di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, misalnya, bertahun lamanya hanya ada seorang guru besar. Lihatlah pula di Institut Kesenian Jakarta, di beberapa Institut Seni Indonesia, dan sekolah tinggi seni lain di Indonesia, berapa jumlah profesornya? Di ranah ini, mungkin juga di ranah filsafat dan ilmu-ilmu kemanusiaan, profesor adalah manusia langka. Maka, dapat dipastikan bahwa surplus profesor prosedural tidak termasuk guru besar bidang kesenian di dalamnya.
Ironi linearitas
Kembali ke soal persyaratan. Tentang jurnal internasional terindeks scopus, bagi akademisi dari ranah seni, budaya, dan ilmu-ilmu kemanusiaan lagi-lagi ini problematik. Bayangkanlah seorang dosen pengajar seni tradisional atau bahasa daerah. Mereka meriset budaya dan bahasanya sendiri, sementara yang mengevaluasi dan melegitimasinya adalah ilmuwan dari bangsa lain yang entah bagaimana hubungannya dengan objek yang dibahas penulis bersangkutan.
”Itu pelecehan!” kata Prof Yusuf Affendi, Ketua Program Magister Desain Trisakti. Benar. Itu melecehkan diri sendiri. Akan tetapi, demikianlah mental inferior bangsa terjajah, tak ada kepercayaan kepada diri sendiri.
Maka, scopus pun menjadi bagian dari iman, layaknya FIFA dalam sepak bola.
Satu contoh lagi persyaratan, yakni ihwal linearitas keilmuan dari S-1 sampai S-3. Barangkali bagi ilmuwan di ranah eksakta, linearitas sedemikian bisa menjadi alur pendalaman, menukik mengelaborasi spesialisasi. Namun, nanti dulu untuk ranah kebudayaan. Sudah dalam beberapa dasawarsa terakhir ini spesialisasi dan disiplin dipermasalahkan, bahkan diruntuhkan. Kebudayaan saling berelasi sekaligus saling bertegangan satu sama lain, memunculkan kompleksitas sekaligus keberagaman, pertentangan sekaligus dinamika, dan seterusnya.
Kebudayaan adalah keseharian itu sendiri (Hall, 1996). Oleh karenanya, disiplin yang kaku baku tidak memadai untuk mewadahi dan mengkajinya. Ketegangan teori pun terjadi (Kellner, 1995). Dari situ lahirlah kemudian apa yang disebut perspektif interdisiplin. Banyak pihak telah mengetahui dan membincangkan ini. Di kampus-kampus, ”barang” ini sudah jadi makanan sehari-hari. Satu-satunya institusi yang tak mengetahui dan memahami hal ini tampaknya hanya pemerintah. Absurd!
Wajar saja jika kemudian profesor yang diproduksi pemerintah juga banyak yang absurd. Sekali lagi, mereka bukan profesor yang dilahirkan dari dialektika ilmu pengetahuan, melainkan diciptakan oleh sistem yang juga absurd. Jadi, banyaknya jumlah profesor yang jomplang dengan jumlah karyanya bukan karena syarat jadi profesor itu mudah (Terry Mart, Kompas, 11/11), melainkan kacau.
Sistem yang kacau sedemikian tidak melahirkan persyaratan yang mudah atau susah, tetapi memudahkan dan menyusahkan. Bagi mereka yang suka mengikuti lomba dan canggih bermain proyek, sistem yang kacau menjadi sangat memudahkan. Sebaliknya, bagi akademisi yang serius dan ikhlas mendalami serta mengembangkan ilmunya, sistem demikian bisa sangat menyusahkan. Dan, menyusahkan jauh lebih susah dari kategori susah itu sendiri sebab ia bisa jadi tidak nalar, bisa jadi hanya dibuat-buat.
Bertolak dari situasi demikian, jelas yang harus digugat adalah pemerintah, bukan profesor yang diciptakannya. Meskipun absurd, para profesor itu tidak bersalah. Mereka hanya pemenang lomba. Mereka sudah memenuhi semua syarat, meneliti untuk menjadi profesor. Lagi pula, jika yang digugat profesor absurd itu, ketimbang berkreasi mereka justru malah akan mati. Apabila ukuran gugatan itu adalah kesadaran dan tanggung jawab akademik, segera harus pula diingat bahwa, sebelum menjadi profesor, mereka adalah doktor. Jadi, profesorabsurd dapat dipastikan kelanjutan dari doktor bodong pula.
Lantas, dari mana datangnya doktor absurd? Mudah dijelaskan. Dan, untuk sekadar disingkat: betapa banyak perguruan tinggi yang mengukur kualitasnya dengan seberapa jumlah doktor yang mereka miliki, bukan dengan seberapa banyak dosen yang memiliki dedikasi dan integritas akademik. Absurd!